Hari ini, Rabu 3 Oktober 2012 aku marah, sedih, kecewa, sebal dan stuck sama perasaan yang kusebut Emosi. Entah ada apa dengan hari itu sampai aku harus menampung semua kekesalan dan harus meluapkannya dengan air mata. Mungkin hari itu aku sudah menang dari amarah dan kalah oleh tangis. Aku menangis seakan dunia mengucilkanku, seolah semua orang tak memperdulikanku. Tapi tidak satu orang yang selalu ada untukku. Hari ini aku harus beradu argumen dengan dia 'orang yang amat aku cinta' hanya karena masalah yang seharusnya cukup aku saja yang merasakannya. Aku tau ini bukan penyesalan melainkan sebuah pelajaran yang harus aku pelajari hari ini, esok dan seterusnya. Pelajaran yang tak bisa aku dapatkan dengan mudah karena aku harus menukar dengan air mata untuk mendapatkannya. Aku belajar bagaimana bertahan pada keadaan dan situasi yang sama sekali tak pernah aku harapkan. Aku belajar membuat diri ini tegar, tak padam dan tetap berdaya. Padahal aku tau saat itu aku tidak dalam kondisi sebaik itu. Aku berusaha melawan semua perasaan negatif yang berkumpul menyebabkan sesak tak terbendung di dadaku. Tapi aku hanya manusia biasa dengan keterbatasan daya untuk sanggup melawannya. Dalam peluknya, kuhabiskan semua bendungan air mata yang sudah ingin kuluapkan 8 jam sebelumnya. Aku terlihat lemah saat itu, tapi aku tak perduli karena cuma dia yang boleh melihatku begitu. Karena dia yang bisa memberikan keceriaan padaku lagi setelah itu.
Aku benci kemarin,
Kemarin, 2 Oktober 2012 aku sedang tidak baik-baik saja, aku murung, pendiam dan tak ceria. Aku ga tau apa itu namanya, yang jelas rasanya malas sekali untuk mulut ini bicara, otak ini bekerja dan mata ini terjaga. Tapi aku tak punya pilihan lain selain mengendalikan semuanya. Bagaimana mungkin aku diam di rumah dan menghabiskan 'kemarin' disana. Kemarin harusnya aku lebih sempurna tapi keadaan tak bisa aku paksa untuk menyempurnakannya. Kemarin tak ada suara musik di meja kerja ku, tak ada bunyi keyboard mengetikkan sesuatu pada komputerku. Dan tak ada aku yang duduk disitu. Kemarin aku pergi bersama rekan kerjaku Viar, menemui kliennya di daerah Ganesha. Dari situ semuanya berawal. Mungkin kedengarannya agak aneh jika masalah pekerjaan aku kait-kaitkan dengan kebencianku akan hari kemarin. Tapi itu benar-benar menguras tenagaku hari itu, gara-gara kejadian itu aku harus bersitegang dengan tunanganku. Seandainya kemarin aku pergi sesuai rencana awal, mungkin kejadiannya tak akan separah itu. Hanya saja urusan pekerjaan tak bisa aku porsikan sesuai keinginanku. Itu resiko yang akan pasti aku hadapi tak hanya kemarin melainkan hari lain. Orang itu mulai menjadi 'sedikit' bahan permasalahan aku dan tunanganku. Bagaimana tidak, aku harus terus meyakinkan dia 'tunanganku' kalau semua akan baik-baik saja. tapi dia bukan anak kecil yang lantas akan langsung menerima, perlu pertimbangan hati dan logika untuk membuat dia percaya. Dia bukan orang yang mudah di kuasai perasaan, tapi dia selalu melibatkan intuisi untuk meyakinkan perasaan yang menguasainya itu. Dan itu salah satu kekhawatiranku padanya. Tak ada yang salah dengan intuisi, dan aku tak pernah meyalahkan dia atas kekhawatirannya itu. Aku anggap itu semua sebagai bukti sayang dia padaku. Aku tahu dia mempercayaiku seperti halnya aku mempercayainya, tapi kadang pembuktian itu tak sepenuhnya bisa diterima logika.
Aku benci kemarin lusa,
Kemarin lusa, 1 Oktober 2012 hari pertama di bulan ini, harusnya bisa menjadi awal yang bahagia. Tapi tidak kali ini, aku ga tau mesti mulai dari mana dan bagaimana. Singkat cerita aku pernah terlibat utang-piutang dengan teman se-kost ku dulu (kurang lebih 4 bulan yang lalu). Bagaimana aku bisa terlibat disini, aku juga lupa. Aku dan temanku itu saling kenal di tempat kost ku, kami cocok (sebagai teman satu rumah). Kalau boleh aku kaitkan dengan niatku pergi ke Jakarta 3 Bulan lalu, dari situ lah aku mulai bermasalah dengan temanku itu. Aku titipkan laptopku sama dia dengan alasan agar aku gampang mengambilnya ketika pindahan nanti. Aku percaya padanya, karena dia baik dan sudah ku anggap keluarga. Sampai akhirnya aku harus meminjam uang padanya jumlahnya ga banyak, kalau aku bayar dengan gajiku sebulan masih ada sisa. Tapi dia minta untuk kubayar sebulan sebelum dia menikah. Padahal aku bisa saja membayarnya jauh sebelum bulan itu tiba. Namun karena ekonomiku saat itu terbagi-bagi untuk orang lain, akhirnya aku kelabakan. Dan seminggu sebelum hari pertunanganku, dia mulai aneh. Dia meminjam sejumlah uang padaku dengan alasan untuk beli tiket pesawat dan akan dia kembalikan dua hari kemudian, tapi sampai hari pertunanganku tiba, dia menghilang tanpa ada kabar. Jujur aku khawatir, aku takut dia kenapa-kenapa. Bukan karena dia membawa uangku, tapi karena dia sudah ku anggap saudaraku. Sampai akhirnya kemarin lusa, pacarnya mengabariku dan tiba-tiba menagih utang padaku. Aku kaget dengan ancaman yang dia berikan padaku, aku kaget seperti nasabah kartu kredit yang di kejar-kejar debt collector. Saat itu hari sudah sore dan tidak ada bank yang buka, aku minta supaya aku mentransfernya besoknya saja. Tapi dia terus mengancamku lewat laptopku itu. Aku panik dan benar-benar dalam kondisi yang sangat marah, aku mencoba menahan semua emosi yang sudah di ujung kepalaku. Tapi lagi-lagi aku meluapkannya lewat air mata.
“kamu perempuan, kalau kamu mau nangis, nangis aja. tapi menangislah untuk sesuatu yang baik, bukan sesuatu yang sia-sia”. - Donny Dhirgantoro-
-Monty-